Profesor, Mie Ayam Ceker, dan Ilmu yang Membumi

siang tadi beliau mengajak kami— dosen dan beberapa alumni muda—makan siang di Warung Mie Ayam Ceker Bang Mamad. Tempatnya sederhana, tanpa pendingin udara atau hiasan yang estetik. Tapi justru di situ, kami belajar pelajaran besar tentang kehidupan dan pendidikan.
Saat kami menikmati semangkuk mie ayam ceker di warung Bang Mamad, Prof. Sugeng bercerita kepada kami dengan penuh senyum hangat. “Dulu,” katanya, “waktu saya makan di sini, saya tanya ke Bang Mamad, ‘Bumbu ini siapa yang buat, mas?’”
“Terus dia jawab, ‘Ibu saya, pak,’” ujar beliau menirukan dengan tawa kecil.
Lalu beliau melanjutkan, “Saya bilang ke dia, ‘Waduh blaik… kamu harus belajar bikin sendiri. Jangan terus bergantung sama ibumu. Suatu saat kamu harus bisa mandiri.’”
Cerita itu disampaikan bukan untuk apa-apa, tapi untuk menunjukkan betapa pentingnya mendampingi dan menumbuhkan semangat belajar, bahkan pada seorang penjual mie. Dan benar saja, Bang Mamad akhirnya belajar meracik sendiri bumbu khasnya—sebuah proses dari ketergantungan menuju kemandirian, yang bermula dari obrolan ringan dengan seorang profesor yang membumi.
Tapi keberpihakan Prof. Sugeng tak berhenti di situ. Di ruang-ruang kelas, beliau kerap melontarkan lelucon tentang "mie ayam ceker Bang Mamad"—bukan semata untuk mengundang tawa, tetapi sebagai bentuk promosi halus terhadap kuliner lokal. Akibatnya, banyak mahasiswa yang penasaran dan akhirnya mencicipi sendiri mie ayam ceker itu. Warung kecil itu pun tak jarang jadi tempat “ziarah” intelektual yang baru.
Bagi kami, Prof. Sugeng adalah bukti bahwa intelektualitas sejati tak harus berjarak. Ia membumi dalam sikap, dan tetap melangit dalam wawasan. Ia tidak hanya bicara tentang keadilan sosial di kelas, tapi juga mempraktikkannya lewat keberpihakan pada usaha kecil, pada rasa lokal, pada kehidupan yang nyata dan sederhana.
Dalam semangkuk mie ayam ceker, Prof. Sugeng menunjukkan bahwa pendidikan sejati adalah soal menyentuh hati, memantik keberanian, dan menjembatani teori dengan realitas. Dan lewat lelucon, diskusi warung, serta ajakan makan siang yang tampak biasa, beliau tengah menanamkan pelajaran yang tak ternilai: bahwa ilmu tidak hanya untuk dikejar, tapi untuk dirasakan, dibagikan, dan dimanusiakan.
Kami pun pulang hari itu tidak hanya dengan perut kenyang, tapi dengan semangat baru untuk menjadi pendidik yang tidak hanya cerdas, tapi juga berpihak. Sebab seperti yang diajarkan Prof. Sugeng—kadang pelajaran paling penting justru hadir di meja makan, dalam Semangkuk mie ayam ceker.
0 Response to "Profesor, Mie Ayam Ceker, dan Ilmu yang Membumi "
Posting Komentar