PEMILAHAN SAMPAH: Antara Niat Baik dan Realitas di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA)
Oleh: Dr. Moh. Nasrudin Rahmat, M.Pd.I (Ketua PC ISNU Kab. Pekalongan)

Pemandangan gunungan sampah yang menggunung di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) hampir di setiap kota dan kabupaten di negeri ini seringkali menyajikan ironi yang mencolok. Di satu sisi, kita melihat inisiatif masyarakat yang semakin meningkat dalam memilah sampah dari sumbernya, memisahkan dengan teliti antara sampah organik yang berpotensi menjadi kompos dan sampah anorganik yang dapat didaur ulang. Namun, di sisi lain, pemandangan yang tak jarang kita jumpai adalah bercampurnya kembali sampah-sampah yang telah dipilah ini di atas truk pengangkut atau bahkan saat tiba di TPA. Sebuah kontradiksi yang menimbulkan pertanyaan besar: jika akhirnya bercampur, lantas apa gunanya upaya pemilahan di tingkat rumah tangga?
Fenomena ini bukan sekadar masalah teknis operasional, melainkan cerminan dari kompleksitas sistem pengelolaan sampah secara keseluruhan. Akar permasalahannya bisa ditelusuri dari berbagai aspek. Pertama, infrastruktur dan logistik pengangkutan sampah yang belum terintegrasi dengan baik. Seringkali, keterbatasan jumlah armada pengangkut sampah yang terpisah untuk jenis organik dan anorganik memaksa petugas untuk mencampur muatan demi efisiensi waktu dan biaya. Selain itu, jalur pengangkutan yang tumpang tindih atau jadwal yang tidak sinkron antara pengangkutan sampah organik dan anorganik juga berkontribusi pada masalah ini.Kedua, keterbatasan fasilitas pemrosesan sampah yang memadai. Idealnya, sampah organik akan diolah menjadi kompos atau sumber energi biogas, sementara sampah anorganik akan disalurkan ke industri daur ulang. Namun, kenyataannya, jumlah fasilitas pengolahan yang mampu menampung dan memproses seluruh volume sampah yang dihasilkan, apalagi yang sudah terpilah, masih sangat terbatas. Akibatnya, sebagian besar sampah, terlepas dari upaya pemilahan di awal, berakhir di TPA dengan penanganan yang minimal.
Ketiga, kurangnya koordinasi dan sinkronisasi kebijakan antar instansi terkait. Pengelolaan sampah melibatkan berbagai pihak, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, dinas kebersihan, hingga sektor swasta dan masyarakat. Ketidaksinkronan visi dan implementasi kebijakan antar tingkatan dan sektor ini seringkali menghambat terciptanya sistem pengelolaan sampah yang efektif dan terpadu. Misalnya, kebijakan pemilahan sampah di tingkat kota tidak diimbangi dengan kesiapan infrastruktur pengolahan di tingkat regional.
Keempat, peran dan kesadaran masyarakat yang belum optimal. Meskipun kesadaran untuk memilah sampah semakin meningkat, masih banyak masyarakat yang belum sepenuhnya memahami pentingnya pemilahan yang benar atau belum memiliki fasilitas yang memadai di lingkungan tempat tinggalnya. Selain itu, konsistensi dalam memilah sampah juga menjadi tantangan tersendiri.
Implikasi dari bercampurnya kembali sampah yang telah dipilah ini sangatlah signifikan. Dari sudut pandang lingkungan, potensi daur ulang sampah anorganik menjadi hilang atau menurun kualitasnya karena terkontaminasi sampah organik. Proses pembusukan sampah organik di antara timbunan sampah anorganik juga menghasilkan gas metana, salah satu gas rumah kaca yang berkontribusi terhadap perubahan iklim. Selain itu, efisiensi sumber daya dan energi yang seharusnya bisa didapatkan dari pengolahan sampah yang terpilah juga terbuang percuma.
Dari sudut pandang ekonomi, potensi nilai ekonomi dari sampah anorganik yang dapat didaur ulang tidak termanfaatkan secara optimal. Industri daur ulang membutuhkan pasokan bahan baku yang bersih dan terpilah untuk menghasilkan produk yang berkualitas. Bercampurnya sampah mempersulit dan meningkatkan biaya proses daur ulang.
Lantas, bagaimana seharusnya kita menyikapi paradoks ini? Solusinya tentu tidak sederhana dan memerlukan pendekatan yang holistik dan terintegrasi. Beberapa langkah yang perlu dipertimbangkan antara lain:
1) Penguatan infrastruktur dan logistik pengangkutan sampah yang terpilah. Pemerintah daerah perlu berinvestasi dalam penyediaan armada pengangkut sampah yang memadai dan terpisah, serta merancang rute pengangkutan yang efisien dan tidak mencampur jenis sampah.
2) Pembangunan dan pengembangan fasilitas pengolahan sampah yang sesuai dengan jenis sampah. Investasi dalam teknologi pengolahan sampah organik menjadi kompos atau biogas, serta fasilitas daur ulang sampah anorganik perlu diprioritaskan.
3) Peningkatan koordinasi dan sinkronisasi kebijakan antar instansi. Pemerintah pusat dan daerah perlu menyelaraskan kebijakan dan program pengelolaan sampah, serta melibatkan seluruh pemangku kepentingan dalam perencanaan dan implementasi.
4) Pemberdayaan dan peningkatan kesadaran masyarakat secara berkelanjutan. Edukasi mengenai pentingnya pemilahan sampah yang benar, penyediaan fasilitas pemilahan yang memadai di tingkat komunitas, serta insentif dan disinsentif yang efektif perlu diterapkan.
5) Mendorong inovasi dan partisipasi sektor swasta. Kemitraan dengan pihak swasta dalam pengembangan teknologi pengolahan sampah dan model bisnis daur ulang yang berkelanjutan perlu didukung.
Upaya pemilahan sampah dari rumah tangga tidak akan sia-sia jika diiringi dengan komitmen dan tindakan nyata dari seluruh pihak dalam membangun sistem pengelolaan sampah yang terintegrasi dan berkelanjutan. Paradoks bercampurnya kembali sampah yang telah dipilah adalah tantangan yang harus kita atasi bersama demi mewujudkan lingkungan yang lebih bersih, sehat, dan lestari. Ini bukan hanya tentang memilah sampah, tetapi tentang membangun sebuah sistem yang menghargai setiap tetes keringat dan niat baik masyarakat dalam menjaga bumi pertiwi.
#coretankecil
0 Response to "PEMILAHAN SAMPAH: Antara Niat Baik dan Realitas di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA)"
Posting Komentar