Apresiasi yang Sejati bagi Perpustakaan Desa: Menimbang Ulang Arah Kebijakan Literasi di Pedesaan
Dari total 248 desa yang ada di Kabupaten Batang, jumlah perpustakaan desa yang tersedia belum mencapai separuhnya. Bahkan dari jumlah yang terbatas tersebut, hanya segelintir perpustakaan yang benar-benar aktif menjalankan fungsi dan program literasi secara konsisten. Data ini menunjukkan adanya permasalahan struktural yang mendasar, utamanya terkait minimnya dukungan kebijakan yang mendorong keberlanjutan dan penguatan perpusdes secara sistematis.
Dalam rangka memperingati Hari Lahir Kabupaten Batang tahun 2025, pemerintah daerah melalui dinas terkait menyelenggarakan lomba apresiasi perpustakaan desa. Secara prinsip, inisiatif ini patut diapresiasi karena menunjukkan adanya perhatian terhadap literasi desa. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, terdapat kegelisahan yang perlu disuarakan. Apresiasi justru diberikan kepada perpustakaan desa yang mengalami perubahan fisik secara cepat dalam beberapa bulan terakhir, bukan kepada perpustakaan yang telah bertahun-tahun aktif, konsisten, dan memberikan dampak nyata bagi masyarakatnya.
Dimensi fundamental seperti keberlanjutan kegiatan literasi, kemitraan dengan komunitas lokal, tingkat keanggotaan aktif, serta pengaruh sosial terhadap ekosistem belajar warga desa tampaknya belum mendapat porsi penilaian yang proporsional. Alih-alih mengedepankan keberfungsian perpustakaan sebagai ruang hidup dan dinamis, penilaian lebih terfokus pada aspek digitalisasi dan tampilan fisik semata. Padahal di konteks pedesaan, perpustakaan yang berdampak langsung jauh lebih penting dibanding perpustakaan yang sekadar mengadopsi teknologi tanpa keberlanjutan aktivitas.
Fenomena ini patut menjadi bahan refleksi bersama. Apresiasi seharusnya tidak diberikan kepada hasil instan yang dibentuk dalam waktu singkat untuk kepentingan lomba, melainkan kepada upaya panjang yang dilakukan dengan ketekunan, keterlibatan masyarakat, dan dedikasi para pengelola. Perpustakaan desa yang tetap membuka layanan meskipun dengan sarana terbatas, yang membangun jejaring dengan sekolah dan tokoh masyarakat, serta yang mampu menumbuhkan minat baca secara perlahan namun berkelanjutan, ialah bentuk nyata dari perpustakaan yang layak diapresiasi.
Literasi bukan sekadar citra, melainkan proses transformasi. Maka, kebijakan literasi desa seharusnya diarahkan untuk memperkuat fondasi dan keberlanjutan, bukan sekadar mengejar kesan digital yang sering kali tidak sesuai dengan realitas keseharian di desa. Untuk apa digitalisasi dipaksakan jika pada praktiknya perpustakaan tetap tertutup dan tidak menyentuh kehidupan warga?
Sudah saatnya arah kebijakan literasi desa diubah menjadi lebih berpihak pada substansi. Pemerintah daerah dan pemangku kepentingan harus mulai melihat perpusdes bukan hanya sebagai proyek, melainkan sebagai investasi jangka panjang untuk membangun generasi pembelajar. Apresiasi yang sejati adalah penghargaan yang diberikan pada mereka yang bekerja dalam diam, membangun dari bawah, dan menjaga nyala literasi dengan penuh pengabdian.
0 Response to "Apresiasi yang Sejati bagi Perpustakaan Desa: Menimbang Ulang Arah Kebijakan Literasi di Pedesaan"
Posting Komentar