Sedekah Bumi Dukuh Kulur, Desa Wonokerto: Ungkapan Syukur dalam Bingkai Tradisi

A.    Latar Belakang: Urgensi Sedekah Bumi

Sedekah Bumi merupakan salah satu tradisi budaya yang telah mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat pedesaan di Indonesia, termasuk di Dukuh Kulur, Desa Wonokerto. Tradisi ini bukan sekadar kegiatan seremonial semata, melainkan mengandung nilai-nilai luhur yang mencerminkan pandangan hidup masyarakat desa terhadap alam, Tuhan, dan kehidupan sosial. Salah satu nilai paling fundamental yang terkandung dalam tradisi ini adalah wujud rasa syukur atas limpahan rezeki, hasil pertanian, serta keselamatan yang dirasakan masyarakat selama satu tahun terakhir.

Bagi masyarakat desa yang kehidupannya masih sangat bergantung pada siklus alam, kesuburan tanah, dan keberlangsungan musim, bersyukur bukan hanya sikap spiritual, melainkan bentuk kesadaran kolektif untuk menghargai anugerah Tuhan yang diberikan melalui bumi. Dengan demikian, Sedekah Bumi menjadi ritual penting yang menegaskan bahwa tanah bukan sekadar lahan ekonomi, tetapi juga sumber kehidupan yang patut dihormati dan dijaga kelestariannya. Melalui ungkapan syukur inilah, masyarakat meyakini bahwa keseimbangan antara manusia dan alam akan terus terjaga.

Sejalan dengan falsafah lokal, masyarakat Jawa meyakini pepatah: "Memayu hayuning bawana, ambrasta dur hangkara", yang berarti menjaga dan memperindah dunia serta menyingkirkan sifat angkara murka. Tradisi Sedekah Bumi menjadi pengejawantahan dari semangat ini—yaitu menjaga harmoni dengan alam dan menumbuhkan sikap rendah hati serta menjauhi keserakahan terhadap sumber daya alam.

Dari perspektif keagamaan, ajaran Islam juga menekankan pentingnya rasa syukur. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an:

"La’in syakartum la’azîdannakum wa la’in kafartum inna ‘adzâbî lasyadîd."
(QS. Ibrahim: 7)

"Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih."

 Ayat ini mempertegas bahwa rasa syukur adalah kunci utama kelanggengan rezeki dan keberkahan hidup. Oleh karena itu, pelaksanaan Sedekah Bumi bukan hanya berakar pada tradisi lokal, tetapi juga memiliki landasan spiritual yang kuat dalam ajaran agama.

Di tengah perubahan zaman yang serba modern dan individualistik, tradisi Sedekah Bumi menjadi penanda penting bahwa masyarakat masih menjaga hubungan harmonis antara manusia, alam, dan Sang Pencipta. Tradisi ini tidak hanya berfungsi sebagai pelestarian budaya leluhur, tetapi juga sebagai sarana spiritual, sosial, dan edukatif yang memperkuat identitas kolektif desa. Sedekah Bumi mengajarkan pentingnya bersatu dalam kebersamaan, gotong royong, dan menjaga nilai-nilai adat yang membentuk jati diri desa. Kehadirannya tidak pernah kehilangan makna, justru menjadi momentum reflektif tahunan yang menegaskan bahwa bersyukur adalah bagian penting dari cara hidup masyarakat pedesaan.

Profil Dukuh Kulur, Desa Wonokerto

             Dukuh Kulur merupakan salah satu dari sepuluh pedukuhan di wilayah administratif Desa Wonokerto, Kecamatan Bandar, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Desa Wonokerto terdiri dari Dukuh Kulur, Kauman, Krajan, Kebunan, Sikuntul, Ndukuh, Kiping, Wonoyoso, Karetan, dan Kampir. Secara geografis dan sosial-budaya, Kulur dikenal sebagai wilayah yang mempertahankan nilai-nilai tradisional dan kehidupan masyarakat agraris yang kuat.

        Sebagian besar warga Dukuh Kulur bermata pencaharian sebagai petani dan pekebun, dengan komoditas utama berupa padi, jagung, singkong, serta aneka tanaman hortikultura yang tumbuh subur berkat tanah yang relatif gembur dan iklim yang mendukung. Selain pertanian, beberapa warga juga bekerja di sektor perdagangan dan jasa, serta menjadi tenaga pengajar, pekerja swasta, atau pegawai negeri. Wilayah ini memadukan kehidupan agraris dengan perkembangan ekonomi dan pendidikan masyarakat yang perlahan namun stabil.

            Dukuh Kulur juga memiliki tingkat partisipasi sosial-politik yang tinggi. Hal ini tampak dari fakta bahwa tiga kepala desa terakhir Desa Wonokerto berasal dari Dukuh Kulur, yaitu Bapak Juono, Bapak Teguh Rismanto, dan Ibu Sutriyahningsih. Selain itu, dua warga dari dukuh ini juga pernah duduk sebagai anggota DPRD Kabupaten Batang, menunjukkan keterlibatan aktif dalam pembangunan di tingkat desa hingga daerah. Kiprah ini menjadi cermin dari kepercayaan masyarakat dan kualitas kepemimpinan yang tumbuh dari lingkungan Kulur.

            Dari sisi kehidupan keagamaan, masyarakat Dukuh Kulur menunjukkan tingkat religiositas yang tinggi. Kegiatan keagamaan berlangsung aktif di sejumlah mushola yang tersebar di lingkungan RT. Mushola-mushola ini menjadi tempat pembinaan spiritual harian warga, termasuk kegiatan pengajian anak-anak dan majelis taklim ibu-ibu. Kemudian juga di topang dengan madrasah diniyah mbah wali kulur dan madrasah diniyah Ar Rohmah.

            Selain itu, terdapat sebuah masjid besar yang menjadi pusat ibadah sekaligus lokasi acara besar keagamaan dan budaya, yaitu Masjid Ar-Rohmah. Masjid ini tidak hanya menjadi tempat pelaksanaan salat berjamaah, tetapi juga menjadi titik utama dalam pelaksanaan acara Sedekah Bumi, khususnya pertunjukan wayang golek yang digelar di halaman sebelah barat masjid.

            Pusat spiritual lainnya adalah makam Mbah Wali Kulur, seorang tokoh yang dihormati oleh masyarakat, yang menjadi tempat utama pelaksanaan tahlilan dan rotiban pada malam sebelum Sedekah Bumi. Kegiatan tersebut menunjukkan bahwa keagamaan dan kebudayaan saling terikat erat dalam kehidupan masyarakat Kulur.

                Dengan semangat gotong royong, kekeluargaan, dan keaktifan dalam kegiatan sosial-keagamaan, Dukuh Kulur menjadi salah satu potret pedukuhan yang tidak hanya menjaga identitas lokal, tetapi juga berperan aktif dalam dinamika pembangunan desa secara luas.

C.    Rangkaian Acara Sedekah Bumi

                Pelaksanaan Sedekah Bumi di Dukuh Kulur pada tahun 2025 ini berlangsung selama dua hari, yakni pada tanggal 28–29 Mei 2025 M, yang bertepatan dengan 1–2 Besar 1958 Je dalam kalender Jawa, dengan weton Rabu Kliwon dan Kamis Legi. Penetapan tanggal tersebut didasarkan pada kesepakatan bersama tokoh masyarakat dan panitia pelaksana, yang mengacu pada kebiasaan lokal untuk menyelenggarakan acara ini pada bulan "Legeno", sebuah bulan Jawa yang diyakini membawa keberkahan dan keberlimpahan.Rangkaian acara yang telah disusun secara sistematis ini tidak sekadar menjadi bentuk rutinitas tahunan, melainkan mengandung nilai-nilai doa, syukur, pelestarian tradisi, dan pembinaan moral masyarakat, sebagaimana dijelaskan berikut:

1.     Malam Sebelum Hari H (Rabu Kliwon, 28 Mei 2025)

Pada malam hari sebelum puncak acara, masyarakat berkumpul di makam Mbah Wali Kulur untuk menggelar ngaji, tahlil, dan rotiban. Kegiatan ini merupakan bentuk penghormatan kepada leluhur dan ulama terdahulu yang telah menjadi bagian penting dalam sejarah dan spiritualitas Dukuh Kulur. Melalui lantunan ayat suci Al-Qur'an dan doa bersama, masyarakat berharap memperoleh keberkahan hidup dan kemakmuran hasil bumi. Ini sekaligus menjadi momentum untuk menguatkan hubungan spiritual antara generasi masa kini dengan warisan rohaniah para pendahulu.

2.     Pagi Hari (Kamis Legi, 29 Mei 2025, pukul 05.00–07.00)

Pagi hari dimulai dengan Khotmil Qur’an yang diselenggarakan serentak di seluruh mushola di wilayah Dukuh Kulur. Kegiatan ini dipimpin oleh para ustadz dan santri dari Pondok Pesantren Al-Khaidar, yang menjadi garda depan dalam penguatan nilai-nilai keislaman. Khotmil Qur’an dimaknai sebagai penyucian batin dan lingkungan spiritual, agar masyarakat memulai hari raya Sedekah Bumi dengan jiwa yang bersih dan penuh keberkahan. Ini juga menumbuhkan semangat kebersamaan antar generasi muda dan tokoh agama.

3.     Pawai Hasil Bumi (pukul 09.00–11.30)

Kegiatan dilanjutkan dengan pawai hasil bumi, yang diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat. Warga membawa berbagai hasil panen—seperti padi, jagung, singkong, pisang, sayuran, dan buah-buahan—dalam bentuk arak-arakan kreatif dan simbolik. Pawai ini bukan sekadar atraksi, melainkan wujud nyata rasa syukur kolektif atas limpahan rezeki dari tanah dan alam. Hasil bumi yang diarak menggambarkan keberhasilan usaha tani sekaligus menjadi pengingat bahwa keberhasilan itu tak lepas dari izin Allah SWT dan kerja keras bersama.

4.     Pagelaran Wayang Golek Siang (mulai pukul 13.00)

Setelah jeda istirahat, masyarakat kembali berkumpul untuk menyaksikan pertunjukan wayang golek yang digelar di halaman sebelah barat Masjid Ar-Rohmah. Seni wayang tidak hanya berfungsi sebagai hiburan tradisional, tetapi juga sarat dengan pesan etika, kepemimpinan, spiritualitas, dan filsafat hidup. Lakon yang dibawakan biasanya mengangkat cerita dari epos Mahabharata atau Ramayana yang telah diadaptasi ke dalam konteks lokal dan Islami. Ini menjadi sarana edukasi moral yang menyenangkan dan reflektif bagi semua kalangan, dari anak-anak hingga orang tua.

5.     Pagelaran Wayang Golek Malam (pukul 20.00 sampai selesai)

Puncak hiburan sekaligus penutup rangkaian Sedekah Bumi adalah pagelaran wayang golek lanjutan di malam hari. Kegiatan ini tidak hanya menjadi simbol kehangatan sosial dan kebersamaan, tetapi juga media untuk menjaga keberlangsungan kesenian tradisional Jawa. Suasana malam yang khidmat disertai lantunan gamelan dan kisah pewayangan memperkuat ikatan emosional masyarakat terhadap akar budayanya. Dalam lakon yang dipentaskan, terselip nilai-nilai kearifan lokal seperti kejujuran, kesetiaan, dan perjuangan melawan kezaliman, yang relevan untuk diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat.

Melalui seluruh rangkaian ini, Sedekah Bumi di Dukuh Kulur bukan hanya perayaan syukur atas hasil panen, tetapi juga menjadi ajang kontemplasi, pelestarian nilai, dan penguatan solidaritas sosial yang sangat dibutuhkan dalam membangun desa yang beradab, religius, dan harmonis.

 D.    Hikmah Pelaksanaan Sedekah Bumi

Pelaksanaan Sedekah Bumi di Dukuh Kulur mengandung hikmah mendalam yang melintasi dimensi spiritual, sosial, budaya, dan ekologis, sehingga menjadikan tradisi ini tidak sekadar ritual tahunan, tetapi juga perwujudan nilai-nilai luhur yang diwariskan leluhur.

Secara spiritual, kegiatan ini menumbuhkan rasa syukur yang tulus kepada Sang Pencipta atas segala limpahan karunia alam. Doa-doa yang dipanjatkan dalam tahlil dan khotmil Qur’an mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk yang selalu bergantung pada kehendak Tuhan. Sebagaimana kata pepatah Jawa, “Manungsa mung ngudi, Gusti sing paring” (Manusia hanya berusaha, Tuhan yang memberikan). Dengan demikian, Sedekah Bumi mengingatkan kita untuk selalu rendah hati dan berserah diri dalam setiap proses kehidupan.

Dalam dimensi sosial, tradisi ini menyatukan masyarakat dalam semangat kebersamaan dan gotong royong. Pawai hasil bumi dan pagelaran wayang golek menjadi momen berharga yang memperkuat hubungan antarwarga, mempererat tali persaudaraan, dan menumbuhkan rasa solidaritas. Melalui kebersamaan ini, pesan luhur tentang pentingnya saling tolong-menolong dan menjaga harmoni sosial terus hidup, memperkokoh pondasi desa sebagai komunitas yang tangguh dan peduli.

Dari sisi budaya, Sedekah Bumi berperan sebagai media pelestarian nilai-nilai lokal dan identitas kultural. Wayang golek tidak hanya menghibur, melainkan menjadi guru yang mengajarkan kebijaksanaan hidup, nilai keadilan, keberanian, dan kesetiaan. Cerita-cerita pewayangan yang kaya makna menjadi jembatan penghubung antara generasi tua dan muda, menjaga agar warisan budaya tidak hilang ditelan zaman.

Hikmah lainnya terletak pada aspek ekologis. Sedekah Bumi mengingatkan kita akan hubungan simbiosis antara manusia dan alam. Kegiatan pawai hasil bumi adalah bentuk nyata penghormatan terhadap bumi yang telah memberikan kehidupan. Pesan tersiratnya adalah pentingnya menjaga kelestarian lingkungan agar bumi tetap subur dan lestari, agar generasi yang akan datang tetap dapat menikmati hasil alam dengan penuh keberkahan. Seperti sabda leluhur yang mengatakan, “Aja nggrantes anggone ngundhuh” (Jangan serakah dalam mengambil hasil bumi), menjadi pengingat bijak agar kita menjaga keseimbangan alam dengan penuh tanggung jawab.

Dengan segala hikmah tersebut, Sedekah Bumi bukan hanya sebuah tradisi, melainkan cermin kehidupan yang memadukan iman, kebersamaan, kearifan lokal, dan kepedulian lingkungan. Tradisi ini mengajarkan kita bahwa hidup yang bermakna adalah hidup yang mampu mensyukuri karunia, menjaga persaudaraan, melestarikan budaya, dan merawat bumi sebagai rumah bersama

 E.     Penutup

                Sedekah Bumi di Dukuh Kulur, Desa Wonokerto bukan sekadar perayaan seremonial tahunan, tetapi menjadi manifestasi dari nilai-nilai spiritual, sosial, dan budaya yang terjaga dan terus diwariskan. Tradisi ini mengajarkan masyarakat tentang pentingnya rasa syukur, penghormatan terhadap leluhur, serta kekuatan dalam kebersamaan. Di tengah arus globalisasi dan tantangan zaman, tradisi seperti ini layak dipertahankan sebagai identitas kultural yang mencerminkan kearifan lokal serta ketangguhan masyarakat dalam menjaga harmoni dengan alam dan sesama.Lebih dari itu, Sedekah Bumi menjadi pengingat bahwa kehidupan manusia tidak bisa dilepaskan dari lingkungan dan warisan budaya yang telah diwariskan oleh para pendahulu. Dengan terus melestarikan tradisi ini, masyarakat Dukuh Kulur tidak hanya menjaga akar budaya dan keimanan, tetapi juga meneguhkan jati diri sebagai komunitas yang sadar akan tanggung jawabnya terhadap alam dan sesama manusia. Tradisi ini menjadi tonggak penting dalam memperkuat solidaritas sosial dan menjaga kelestarian lingkungan, yang pada akhirnya menjadi modal utama untuk membangun kehidupan desa yang berkelanjutan.

            Oleh karena itu, pelaksanaan Sedekah Bumi harus terus didukung dan dilestarikan oleh semua lapisan masyarakat, terutama generasi muda, agar makna luhur yang terkandung di dalamnya tetap hidup dan relevan di masa depan. Sebagaimana pepatah Jawa mengatakan, “Urip iku urup” — hidup itu untuk memberi cahaya, maka melalui Sedekah Bumi, masyarakat Dukuh Kulur terus memberi cahaya kebaikan, kebersamaan, dan rasa syukur yang tak lekang oleh waktu.Dengan demikian, Sedekah Bumi bukan hanya ritual, melainkan perwujudan harmoni antara manusia, budaya, dan alam yang menjadi sumber kekuatan dan inspirasi bagi kehidupan bersama di Dukuh Kulur, Desa Wonokerto.

Daftar Pustaka

Juono, Kepala Desa Wonokerto. Wawancara pribadi. 1 Juni 2025.

Ainun Badriyah, Tokoh Perempuan Desa Wonokerto (Pendidik KB An Najah). Wawancara pribadi. 2 Juni 2025.

Slamet Nurchamid, Ketua Omah Sinau. Wawancara pribadi. 2 Juni 2025.

M. Rohmat, Ustadz Pesantren Al Khaidar. Wawancara pribadi. 3 Juni 2025.

0 Response to "Sedekah Bumi Dukuh Kulur, Desa Wonokerto: Ungkapan Syukur dalam Bingkai Tradisi"

Posting Komentar